Dasar Hukum Perlindungan Pers
Dewan Pers Tegaskan Tiga Regulasi Utama Jadi Payung Hukum
Perlindungan Pers
Jakarta, 24 Juni 2025 — Perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia sejatinya telah dijamin, namun belum secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi. Karena itu, terdapat tiga regulasi utama yang menjadi dasar perlindungan hukum terhadap pers: Undang-Undang Pers, Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal ini ditegaskan oleh Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Abdul Manan, dalam acara Diskusi Panel bertajuk “Peran Negara dalam Menjamin Keselamatan dan Kemerdekaan Pers” yang diselenggarakan oleh Dewan Pers di Mangkuluhur Artotel Suites, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Selasa (24/6).
Abdul Manan menjelaskan bahwa perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya soal menjamin kebebasan berekspresi, tetapi juga menyangkut keselamatan kerja wartawan di lapangan. Sayangnya, kekerasan terhadap jurnalis masih kerap terjadi dalam berbagai bentuk.
“Jenis kekerasannya sangat beragam, dari yang penghalang-halangan, intimidasi, kekerasan fisik, hingga pembunuhan. Dalam beberapa tahun terakhir, tren kekerasan justru mulai bergeser ke ranah digital,” ungkap Abdul Manan di hadapan para peserta diskusi.
Lebih lanjut, Abdul Manan menyampaikan bahwa meskipun bentuk kekerasan fisik terhadap wartawan seperti pemukulan dan penghalangan peliputan masih dominan, namun sejak 2017 serangan digital mengalami peningkatan signifikan. Hal ini menjadi tantangan baru dalam dunia jurnalistik modern.
“Serangan digital mulai muncul sekitar tahun 2017. Sebelumnya, kasus seperti peretasan, doxing, atau penyebaran informasi palsu terhadap jurnalis hampir tidak ada. Tapi sekarang itu mulai banyak,” jelasnya.
Sementara itu, terkait aspek hukum, ia menyoroti pergeseran pola penggunaan pasal yang menjerat wartawan. Jika sebelum 2010 kasus hukum terhadap jurnalis lebih sering menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP, kini banyak yang dikenakan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Perubahan ini cukup signifikan. Setelah hadirnya UU ITE, banyak kasus hukum terhadap jurnalis yang menggunakan pasal-pasal di undang-undang tersebut, meski sebenarnya bisa dibahas lebih lanjut apakah itu tepat atau tidak,” ujar Manan.
Dalam diskusi tersebut, Dewan Pers juga menyoroti bagaimana penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan kerap kali menghadapi kendala dalam proses penyelesaian. Menurut Abdul Manan, setidaknya ada tiga pola penyelesaian kasus yang sering terjadi.
Namun, ia mengakui bahwa data kasus kekerasan terhadap wartawan yang dimiliki Dewan Pers masih dalam tahap pengumpulan dan pengembangan. Selama ini, data yang digunakan banyak merujuk pada laporan dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
“Kita di Dewan Pers masih merintis dan membangun sistem pendataan sendiri. Selama ini, data-data kasus kekerasan terhadap wartawan yang jadi rujukan memang dari KKJ dan AJI karena mereka secara rutin mencatat kasus-kasus tersebut,” paparnya.
Berdasarkan catatan dari lembaga-lembaga tersebut, selama satu dekade terakhir, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis tercatat fluktuatif, berada di kisaran 40 hingga 80 kasus per tahun. Rata-rata, sekitar 60 kasus kekerasan terhadap wartawan terjadi setiap tahunnya di Indonesia.
Diskusi ini menjadi pengingat penting bahwa perlindungan terhadap insan pers bukan hanya menjadi tanggung jawab organisasi profesi atau institusi media, tetapi merupakan kewajiban negara sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Kebebasan pers merupakan indikator utama demokrasi yang sehat. Karena itu, negara wajib hadir dalam menjamin kemerdekaan dan keselamatan para jurnalis, baik secara hukum maupun dalam praktik di lapangan.(*)
